14.4.09

Emergency Desa Siring Kulon

Lumpur Lapindo menambah data deretan korban baru. Setahun sudah tepatnya warga Siring Barat dan Jatirejo Barat hidup bersama risiko bahaya dengan bermunculannya kurang lebih 15 semburan air ke permukaan (bubble) bercampur semburan gas mudah terbakar, sehingga potensi amblasnya tanah (subsidence), dan keracunan gas. Warga hidup dalam cengkeraman marabahaya dan ketidakpastian karena sampai saat ini nasib mereka tidak menentu, Lapindo maupun pemerintah terkesan lepas tangan.
Seperti diberitakan Jawa Pos (Rabu, 20/8) Warga sandera petugas BPLS (Staf Humas Ahmad Zulkarnain dan Akhmad Kusairi) dengan menggembosi ban kendaraan petugas BPLS saat akan memadamkan gas yang terbakar dari semburan air di Kelurahan Siring Barat. Warga menolak pemadaman terbakarnya gas di tanah kosong itu karena belum ada tanggapan dari pihak berwenang bagaimana nasib warga Siring Barat.
Peristiwa ini, menyadarkan kembali pada publik bahwa betapa carut marutnya penanggulangan lumpur Lapindo sejak lahirnya 29 Mei 2006 hingga hari ini. Bagaimana ketika korban menuntut haknya atas kerusakan dan kerugian yang di derita sehingga harus turun kejalan untuk berdemo kurang lebih ratusan kali sampai harus menggelandang di depan patung proklamasi dan tugu Monas di Jakarta. Hasilnya demo tersebut hanya menjadi komoditas politik di kancah nasional, yang ujungnya keberpihakan politik ataupun hukum masih jauh dari harapan korban. Rumah retak-retak hingga tenggelam, kehilangan usaha dan mata pencaharian, tempat ibadah, industri dan fasilitas social lainnya nyaris tak tersisa. Belum lagi mereka yang meninggal karena sesak napas dan jantung ataupun kini menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Belum lagi masih meninggalkan traumatis bagi ribuan anak-anak korban lumpur Lapindo tidak sedikit pula yang harus putus sekolah dengan berbagai latar belakang masalah keterpurukan keluarga mereka.
Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagai satu-satunya instrument hukum dam peraturan perundangan-undangan yang diharapkan dapat memberikan garansi atas berakhirnya penderitaan korban lumpur Lapindo yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006 dan 22 Maret 2007, ternyata penyelesaian ganti rugi semakin kompleks dengan munculnya wacana skema ; cash and carry, cash and resetellment, relokasi plus ataupun tidak dijual. Korban yang memilih relokasi bingung karena lokasinya masih fiktif dan ada klausul kesepakatan untuk langsung menjual tanah relokasi kepada pengembang.
Korban berikutnya warga Besuki Barat, Babatan, Kedungcangkring dan Pajarakan harus datang ke Jakarta dan terlantar di Tugu Monas untuk meloloskan Perubahan Perpres No. 14, yang saat ini masih negosiasi harga tanah dan bangunan karena tidak disamakan dengan korban sebelumnya karena dibebankan pada APBN. Nampaknya terdapat perbedaan tanggungjawab korporasi dan pemerintah dalam ganti rugi korban lumpur Lapindo.

LUMPUR LAPINDO SEBAGAI BENCANA
Walaupun terjadi tarik ulur mengenai wacana lumpur Lapindo sebagai bencana alam atau bencana kegagalan teknologi, akhirnya DPR RI ataupun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (27/12/2007) menilai bahwa lumpur Lapindo sebagai fenomena alam gunung lumpur (mud volcano). Hal ini ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga, kekalahan telak bagi warga korban dan sederetan LSM yang gigih mengadvokasi korban, walaupun nyata-nyata munculnya lumpur Lapindo merupakan kegagalan teknologi pengeboran yang besar dan panjang (the big failure) yang memicu fenomena alam gunung lumpur (mud volcano) dari kedalaman 9.297 kaki setara 2.834 meter tepatnya di sumur eksplorasi Banjarpanji 1 yang termasuk dalam wilayah Blok Brantas dengan operator Lapindo Brantas, Inc. (LBI) salah satu anak perusahaan PT Energi Mega Persada, Tbk. yang memegang Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan BP Migas.
Underground Blow Out (BO) ini merupakan kejadian yang ke 17 kali di Indonesia, yang biasa terjadi pada pekerjaan pengeboran dengan perbandingan 1:1.000 dalam setiap pengeboran. Berdasarkan fenomena kejadian di kedalaman hampir 3 km dan BO merupakan kejadian lumrah dalam pekerjaan pengeboran, apakah lumpur Lapindo merupakan fenomena alam? Berdasarkan peraturan Departemen ESDM dalam keselamatan migas selain minyak gas bermanfaat tetapi juga mempunyai potensi bahaya dan pencemaran yang dapat merugikan manusia, harta benda dan lingkungan maka hendaknya keselamatan migas harus dapat menjamin kondisi-kondisi : aman dan sehat bagi pekerja, aman bagi masyarakat umum, aman bagi lingkungan dan aman dan andal bagi instalasi migas sendiri.
Apabila dari sudut pandang kebencanaan Lumpur Lapindo dikenal dengan bencana kegagalan teknologi, dimana memiliki potensi risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta benda, dan gangguan kegiatan masyarakat. Kalau disamakan lumpur Lapindo setara dengan peristiwa Chernobile 26 April 1986 di Rusia atau kejadian Union Carbide di India karena sangat kompleks akibatnya mulai dari mengancam kehidupan manusia, kerusakan dan kerugian, dampak kesehatan dan psikologis, serta kerusakan lingkungan yang diiringi pembayaran ganti rugi oleh penanggungjawab bencana kegagalan teknologi tersebut.

STATUS RISIKO BENCANA
Risiko bahaya lumpur Lapindo dapat merupakan interaksi antara jenis ancaman bahaya (hazards) dengan tingkat kerentanan wilayah (vulnerability) yang masih dibatasi oleh kemampuan korban (capacity). Ancaman bahaya yang potensial seperti di Siring Barat misalnya menurut petugas Fergaco (JP 14/2/2008) bahwa kawasan Siring Barat berbahaya karena banyak bermunculan gelembung-gelembung semburan (bubble) yan mengandung gas mudah terbakar dengan LEL (low explosive limit) mencapai 37 – 77 persen. Hal ini menunjukkan ancaman bahaya kebakaran/keracunan sangat tinggi, apabila diinteraksikan dengan kerentanan warga yang rata-rata secara ekonomi menengah ke bawah, daerah padat penduduk sehingga kurang mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mempersiapkan diri untuk mengurangi risiko tersebut. Kemampuan tersebut dipengaruhi dengan adanya Perpres No. 14 tahun 2007 status korban lumpur Lapindo lanjutan yang seharusnya menjadi beban APBN, sehingga penentuan status korban masih belum jelas. Dalam menghadapi risiko bahaya lumpur Lapindo ancaman yang dihadapi korban antara lain : tenggelam, luka bakar lumpur panas dan gas, gangguan kesehatan, dan ganguan jiwa.

Comments :

0 komentar to “Emergency Desa Siring Kulon”

Posting Komentar

Dukung Kami,