15.5.09

Qira’ati: Cepat Membaca Kitab

Sedikit orang yang mumpuni membaca pustaka beraksara Arab. Tak cukup hanya prihatin, beberapa ulama Indonesia merancang metode cepat memahami jendela keilmuan Islam itu.
JUARA pertama Lomba Baca al-Qur’an tingkat Taman Pendidikan al-Qur’an se-Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dalam rangka Hari Amal Bhakti Departemen Agama ke-45, itu akhirnya digondol Muslihin Rozi. Saat mengikuti lomba, yang digelar pada 15 Desember 1990 itu, Muslihin belum genap berumur 10 tahun. Dia masih duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah.
Namun kemampuan siswa Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA) Darus-Salam Kemiri Subah, Batang, Jawa Tengah ini dalam membaca al-Quran tidak diragukan. Di bawah gemblengan Ustadz Mudha’af Adam, Muslihin kecil yang kini menginjak dewasa, begitu lancar dan fasih melafalkan ayat-ayat al-Quran. “Itu berkat metode Qira’ati yang kami ajarkan,” ujar pengurus Ponpes Darus-Salam Syamsul Maarif Syahid, yang kala itu turut mendampingi Muslihin kecil.
Metode baca al-Quran Qira’ati ditemukan KH. Dachlan Salim Zarkasyi (wafat 2001 M) dari Semarang, Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini memungkinkan anak-anak mempelajari al-Quran secara cepat dan mudah. Hal ini diakui pengajar metode Qira’ati, yang juga asisten Ketua Dewan Masjid Indonesia, Abdullah Syafii Damanhuri. Menurut dia, Qira’ati menawarkan pengajaran yang sistematis dan mendetail. Selain itu, metode ini juga khas. “Misalnya, metode ini mengajarkan bacaan gharib (bacaan langka, red.) dalam al-Quran, yang tidak diajarkan metode lain,” ujar peraih syahadah (sertifikat) Qira’ati dari Ustadz Abu Bakar Zarkasyi, putera KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Kiai Dachlan yang mulai mengajar al-Quran pada 1963, merasa metode baca al-Quran yang ada belum memadai. Misalnya metode
Qaidah Baghdadiyah dari Baghdad Irak, yang dianggap metode tertua, terlalu mengandalkan hafalan dan tidak mengenalkan cara baca tartil (jelas dan tepat, red).
Saat itu juga, terbetik di benak Kiai Dachlan keinginan menyusun metode yang mudah dan digemari anak-anak, dengan orientasi bacaan tartil. Bertahun-tahun, dengan penuh ketekunan dan kesabaran, Kiai Dachlan mengamati dan meneliti majlis pengajaran al-Quran di banyak mushalla, masjid, dan majlis tadarus al-Quran.
Ia pun kecewa. Karena dari hasil pengamatannya, murid-murid pengajian tidak mengindahkan
mad (bacaan panjang pendek, red.). Itu membuatnya lebih serius menemukan metode yang mujawwad murattal (mengajarkan tajwid dan cara baca tartil, red.). Kiai Dachlan kemudian menerbitkan enam jilid buku Pelajaran Membaca al-Qur’an untuk TK al-Qur’an bagi anak usia 4-6 tahun, pada 1 Juli 1986. Usai merampungkan penyusunannya, KH. Dachlan berwasiat, supaya tidak sembarang orang mengajarkan metode Qira’ati. Tapi semua orang boleh diajarkan Qira’ati. “Dalam 100 siswa atau santri hanya 1 orang yang kurang pandai. Jika ada lebih dari 1 orang yang kurang pandai, maka yang perlu dipertanyakan gurunya,” pesan pendiri TPA Roudhatul Mujawwidin, Semarang, Jawa Tengah ini. Untuk mengajarkan buku jilid 1-2 metode ini, guru diharuskan telaten mengajari murid seorang demi seorang. Ini supaya guru mengerti kemampuan anak-anak didiknya. Untuk jilid 3-6 dilakukan secara klasikal, yaitu beberapa murid membaca dan menyimak bersama dalam satu ruangan. Dalam perkembangannya, sasaran metode Qira’ati kian diperluas. Kini ada Qira’ati untuk usia 6-12 tahun, dan untuk mahasiswa. Setelah metode Qira’ati, lahir pula metodemetode lainnya. Sebut saja metode Iqra’ temuan KH. As’ad Humam dari Yogyakarta, yang terdiri enam jilid. Dengan hanya belajar 6 bulan, siswa sudah mampu membaca al-Quran dengan lancar. Iqra’ menjadi populer, lantaran diwajibkan dalam TK al-Quran yang dicanangkan menjadi program nasional pada Musyawarah Nasional V Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), pada 27-30 Juni 1989 di Surabaya. Tiga model pengajaran metode ini, adalah; pertama, Cara Belajar Santri Aktif (CBSA). Guru tak lebih sebagai penyimak, bukan penuntun bacaan. Kedua, privat, yaitu guru menyimak seorang demi seorang. Ketiga, asistensi. Jika tenaga guru tidak mencukupi, murid yang mahir bisa turut membantu mengajar murid-murid lainnya.
Keprihatinan akan banyaknya masyarakat yang buta huruf Arab, menggugah Otong Surasman menemukan metode al-Bayan. Al-Bayan, yang hanya satu jilid dengan 71 halaman, ini disusun sejak 1994. Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran Jakarta ini mulai menuangkan penelitiannya dalam tulisan tangan pada 1995. Awalnya, penemuan itu dinamai metode Insani. Setelah dievaluasi, kemudian metodenya dipadatkan, dan namanya diubah menjadi al-Bayan. Dengan belajar enam bulan, murid mampu melafalkan ayat al-Quran secara baik.
Hattaiyyah adalah metode baca al-Quran yang paling fantastis. Dengan metode, penemuan Muhammad Hatta Usman, ini anak didik mampu membaca al-Quran dalam waktu 4,5 jam. Dengan penemuan Muhammad Hatta Usman ini akan lebih mudah diterapkan bagi anak didik yang telah mampu baca tulis huruf latin. Karena metode ini menggunakan pendekatan Bahasa Indonesia. Caranya unik: 28 huruf Arab dicari padanannya dalam aksara Indonesia. Tanda baca pun diperkenalkan dalam rumus-rumus bahasa Indonesia. Sehingga, hanya dengan enam
kali pertemuan, masing-masing 45 menit, anak didik bisa membaca al-Quran. Walau kurang dikenal, metode al-Barqy dapat dinilai sebagai metode cepat membaca al-Quran yang paling awal. Metode ini ditemukan dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Muhadjir Sulthon pada 1965. Awalnya, al-Barqy diperuntukkan bagi siswa SD Islam at-Tarbiyah, Surabaya. Siswa sekolah itu yang belajar metode ini lebih cepat mampu membaca al-Quran. Muhadjir lantas membukukan metodenya pada 1978, dengan judul Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Qur’an al-Barqy. Uniknya, metode ini memadukan ho-no-coro- ko (aksara Jawa) dan huruf Arab. Hanya saja, untuk alasan efektifitas, aksara Jawa yang tersusun dari lima suku kata dipadatkan menjadi empat suku kata. Terinspirasi Qira’ati, Pengasuh Ponpes Darul Falah Jepara Jawa Tengah, KH. Taufiqul Hakim membuat Amtsilati pada 2001. Bedanya, Qira’ati untuk memudahkan membaca al-Quran, Amtsilati untuk memudahkan membaca kitab gundul (kitab tanpa harakat, red.) atau kitab kuning. “Terdorong dari metode Qira’ati yang mengupas cara membaca yang ada harakatnya, saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harakatnya,” kata Kiai Taufiqul (baca: Kitab Gundul Bukan Lagi Hantu).
Jauh sebelum Amtsilati, Pengasuh Ponpes Salafiyyah, Seblak, Jombang, Jawa Timur almarhum KH. Muhammad Ma’shum bin Ali, menggubah metode canggih memahami sharf (bentuk dan perubahan kata dalam Bahasa Arab, red.). Metodenya disusun dalam karya berjudul al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, cetakan CV Pustaka al-Alawiyah Semarang. Di sana diuraikan bentuk-bentuk dan perubahan kata; kata kerja lampau, sekarang, akan datang, kata benda, subjek, dan seterusnya, hingga sangat mendetail. Saking pentingnya, metode gubahan menantu Hadhratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari, salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, digunakan hampir seluruh pesantren di negeri ini. Santri-santri wajib menghafalnya, jika ingin mumpuni menguasai kitab kuning. “Di pesantren Sunda kitab ini juga digunakan,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhwan, Cigadung, Bandung, Jawa Barat, yang juga Ketua Tanfidziah PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil. Karya ini juga telah diuji Tim Penilai Buku Ditjen Binbaga Islam Tahun 1991/1992. Hasilnya, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam No. 58/E/1992, tanggal 5 September 1992, karya ini dinilai memenuhi syarat sebagai bahan bacaan pelajaran keislaman.
Ada juga karya lain berjudul Murad al-Awamil Mandaya karya Syeikh Nawawi bin Muhammad Ali bin Ahmad, dari Mandaya Carenang, Serang, Banten. Karya ini mengulas masalah nahw dengan latar Bahasa Arab yang ringan. Di pesantren wilayah Banten, karya ini menjadi menu wajib bagi santri pemula. Metode-metode itu tak lapuk di makan zaman. Bahkan hingga kini masih diterapkan di mana-mana.

Sumber : The Wahid Institute; Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi,

»»  read more

Kitab Gundul, Siapa Takut…

Kitab berhuruf gundul atau tanpa harakat, adalah referensi utama bagi keilmuan pesantren khususnya dan dunia Islam umumnya. Menguasai kitab, yang sering disebut kitab kuning —karena lembarannya umumnya berwarna kuning— ini berarti menguasai keilmuan Islam.
Namun, tidak banyak yang mampu membacanya dengan baik, lantaran dibutuhkan persyaratan njelimet. Para santri harus paham nahw (tata bahasa Arab, sharf (bentuk-bentuk dan perubahan kata dalam bahasa Arab), harus mengeram lama di pesantren, hafal ribuan bait Alfiyyah Ibn Malik dan sebagainya. Kitab gundul pun seolah menjadi ‘hantu’ mengerikan, tidak hanya bagi kaum muslim awam, bahkan bagi para santri pesantren sekali pun. Kenyataan itu menggelisahkan Pengasuh Pondok Pesantren Darul-Falah, KH. Taufiqul Hakim. Untuk menyiasatinya, pria kelahiran Sidorejo, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, 14 Juni 1975 ini, menciptakan metode pembelajaran kitab kuning secara cepat, tepat, dan menyenangkan. Metodenya diberi nama Amtsilati, terinspirasi metode belajar cepat membaca al-Quran Qira’ati karya KH. Dachlan Salim Zarkasyi.
“Terdorong dari metode Qira’ati yang mengupas cara membaca yang ada harakatnya, saya membuat tuntunan yang bisa digunakan untuk membaca kitab yang tidak ada harakatnya,” ujarnya saat ditemui Rumadi dari the WAHID Institute di kediamannya. Karya ini dihasilkan lewat serangkaian tirakat. Menurut Kiai Taufiqul Hakim, sejak 27 Rajab 1421 H, dirinya terus merenung mencari solusi problem ini. “Setiap hari saya melakukan mujahadah (usaha-usaha spiritual, red.) terus-terusan sampai 17 Ramadlan,” kata ayah M. Rizqi al-Mubarok (9 tahun) ini.
Bertepatan waktu Nuzulul Qur’an itu, seakan- akan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menulis. “Siang malam saya ikuti dorongan itu dan akhirnya pada 27 Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati saya tulis hanya dalam 10 hari,” terangnya.
Ajaib. Kini, kata alumni Pesantren al-Manshur Popongan, Klaten, Jawa Tengah, ini karyanya itu, sebanyak tujuh jilid tipis-tipis, telah tersebar ke berbagai penjuru negeri. Tidak hanya di Jawa, tapi juga di Kalimantan, Batam dan bahkan di luar negeri seperti Malaysia. “Sampai saat ini Amtsilati telah diterbitkan tidak kurang dari 5 juta eksemplar,” ungkapnya. Bahkan tawaran metodenya telah dijadikan skripsi oleh Abdul Rosyid, dengan judul Metode Amtsilati dalam Proses Penerjemahan: Studi Analisis Buku ‘Program Pemula Membaca Kitab Kuning’ Karya H. Taufiqul Hakim, di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kelebihan metode Amtsilati, yang merupakan ‘rangkuman’ Alfiyyah Ibn Malik ini, yaitu meletakkan rumus-rumus dan gramatikal Arab secara sistematis. Rumus-rumus itu lantas diikat melalui hafalan yang terangkum dalam dua buku khusus, yaitu Rumus Qaidati dan Khulashah Alfiyyah. Menurut kesimpulan Kiai Taufiq, sebetulnya tidak semua bait kitab Alfiyyah karya Ibn Malik, kitab induk yang berisi cara membaca kitab gundul, digunakan untuk membaca kitab kuning. “Hanya 100 sampai 200 bait yang sangat penting dan prioritas. Selainnya hanya penyempurna,” ujarnya mengomentari ribuan bait dalam Alfiyyah.
Kiai Taufiq kini yakin, untuk menguasai kitab gundul secara mumpuni, siapapun tidak perlu bersusah-payah mempelajarinya selama bertahun- tahun, tapi cukup 3 sampai 6 bulan saja. Untuk menunjang metodenya, Kiai Taufiq juga menulis karya sejenis. Misalnya, Qaidati: Rumus dan Qaidah; Shorfiyah: Metode Praktis Memahami Sharaf dan I’lâl; Tatimmah: Praktek Penerapan Rumus 1-2; Khulashah Alfiyah Ibnu Malik, dan sebagainya.
Sumber : The Wahid Institute; Nurul H Maarif
»»  read more

Link Silaturahmi

kembara1731

Followers

Waktu

TAMU

Silaturahmi


ShoutMix chat widget